jump to navigation

Sistem Politik Indonesia Kontemporer dan Peluang Sosial Demokrasi July 28, 2010

Posted by taufandamanik in Uncategorized.
trackback

Tampaknya, meski reformasi sudah berjalan 10 tahun dengan ditandai runtuhnya sebuah rejim otoritarian, apa yang menjadi cita-cita kemaslahatan bagi rakyat banyak – demokrasi dan keadilan sosial – belum juga terwujud. Sebagian pihak, bahkan dengan pesimis meramalkan bahwa kondisi maslahat politik dan ekonomi ini, akan sulit dicapai, bila saja kondisi-kondisi atau prasyarat untuk mencapainya tidak diletakkan sebagai basis di dalam sistem politik Indonesia. Karena itu, diskusi ini menjadi sangat menarik karena perubahan sistem politik otoritarian yang kemudian diliberalisasi menimbulkan pertanyaan besar: apakah akan menghantarkan cita-cita keadilan dan demokrasi atau sebaliknya akan mengalami kebuntuan (baca: failed state).[1]

Catatan sepuluh tahun terakhir menunjukkan betapa kondisi sosial-ekonomi, politik, hukum dan budaya kian masuk ke dalam suatu krisis multi-dimensional (lihat hak-hak dasar berdasarkan standar Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, mau pun merujuk kepada standar Hak Sipil Politik yang tak kunjung membaik)[2]. Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa banyak masyarakat semakin kehilangan makna atas proses demokratisasi di Indonesia, dan karenanya semakin tidak percaya dengan proses-proses politik yang sedang berjalan atau mengalami distrust terhadap sistem politik, kepemimpinan politik, organisasi politik serta lembaga-lembaga politik (formal mau pun non-formal). Kondisi ini paling tidak oleh sebagian kalangan dikuatirkan akan menuju stagnasi politik, dengan demikian projek reformasi pun akan gagal, yang ujungnya akan bisa menimbulkan krisis politik dan ekonomi yang jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah dialami.

Harus diakui, perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi 1998 tidak sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke tangan kelompok ideologis lain.  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal yang memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi, lebih dominan. Jika pun terjadi sirkulasi kepemimpinan elit politik di negeri ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan kalangan “kiri” dan “sosial-demokrasi”, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok ini.[3] Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah kegagalan membangun organisasi strategis di dalam mengarahkan perubahan. Kaum kiri dan sosial-demokrat, selain miskin inovasi di dalam menyusun skema organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai platform perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran “ideologi abstrak” menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas, selain persoalan-persoalan konflik internal yang tak berkesudahan.

Karena itu, dengan gampang desain kaum liberal “diterima” menjadi desain baru sistem politik Indonesia, sementara sistem ekonomi kapitalistik tinggal meneruskan skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal sosial, finansial dan jaringan sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-demokrat berada di pinggiran.

Dalam posisi seperti ini lah kemudian format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum liberal menjadi begitu dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan pemain lama di dalam pentas politik dan ekonomi nasional (saya menyebutnya sebagai “broker politik dan ekonomi” suatu istilah yang mungkin secara akademik kurang tepat). Tidak heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik menjadi hampir tidak terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan institusi dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik pemerintahan jauh dari apa yang dicita-citakan kaum kiri dan sosial-demokrat.

Beberapa model analisa sistem politik

Meminjam pemikiran Gabriel Almond mengenai sistem politik dan kinerjanya, ia menjelaskan bahwa terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik:

Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan mengumpulkan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia dari lingkungan dalam negeri dan internasional. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah, seperti bagaimana pemerintah mengelola pertambangan berhadapan dengan modal domestik mau pun asing dan kepentingan kemakmuran rakyat di sisi yang lain.  Sementara kemampuan pengelolaan SDM akan berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan, peningkatan sumber daya, pengalokasian SDM dan lain-lain. Tentu saja, pada akhirnya kedua dimensi kemampuan pengelolaan potensi SDA dan SDM harus dipadukan ke dalam satu tujuan, yakni kemaslahatan bangsa di mana sistem politik itu bekerja.

Kapabilitas Distributif yakni merujuk kepada kemampuan melakukan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, penghargaan, status, dan kesempatan untuk semua lapisan masyarakat. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, dalam rangka penciptaan keadilan sosial. Pada saat yang sama distribusi sumber-sumber penghidupan dan pekerjaan serta mobilitas sosial juga penting diperlihatkan oleh kapabilitas distributif ini. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sistem dan struktur perpajakan, dengan demikian, akan memengaruhi corak kenegaraan, apakah bisa dikatakan lebih adil atau kurang adil, lebih mampu menjalankan kapabilitas distributif atau malah gagal.

Kapabilitas Regulatif (pengaturan) yang merujuk kepada aliran kontrol atas perilaku individu dan relasi-relasi kelompok di dalam sistem politik. Dalam menyelenggarakan pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan, di mana negara memainkan peranan penting di dalam mengatur dan menjamin hak-hak individu dan kelompok.

Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sebuah sistem politik.

Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output. Output berupa kebijakan pemerintah dapat dikur dari sejauh mana kebijakan tersebut dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat (sebagai inputnya). Di sini, agak sedikit berbeda dengan kapabilitas simbolik, yang paling pokok bukan lah didapatkannya benang merah antara kebijakan dengan tuntutan/aspirasi masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana proses pembuatan kebijakan itu sendiri, yakni pelembagaan mekanisme agregasi dan artikulasi politik kepentingan masyarakat ke dalam sebuah kebijakan politik. Jadi, bukan sekedar melihat apakah Output kebijakan paralel dengan aspirasi/tuntutan masyarakat (kemampuan menangkap wacana aspirasi), tetapi apakah di dalam sistem politik tersebut telah terlembagakan suatu mekanisme dimana rakyat dapat lebih mudah dan lebih mungkin untuk terlibat di dalam tahapan-tahapan pembuatan kebijakan.

Kapabilitas ini sekaligus dapat diukur dari kemampuan menyahuti perkembangan tuntutan dalam negeri dan internasional. Kapabilitas ini juga berhubungan dengan perkembangan globalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan.

Sedikit berbeda, David Easton menawarkan pendekatan lain yang melihat politik sebagai organisme yang dinamis, terus bergerak dan berubah dan tidak selalu menuju satu titik equilibrium. Namun, Easton tetap melihat sistem politik merujuk pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan.  Dengan demikian, analisa Easton akan menitikberatkan pandangan tentang bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,

Kajian sistem politik, dengan begitu, akan dilihat dari tiga dimensi yakni polity, politics, dan policy (kebijakan). Dimensi polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu struktur dan norma, serta pengaturan mengenai institusi-institusi mana yang semestinya ada di dalam politik. Dimensi politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada bagaimana proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dalam hal ini yang menjadi penekanan adalah siapa yang dapat memaksakan kepentingan, bagaimana mekanisme pengaturan untuk mengatasi konflik sehingga didapatkan suatu konsensus[4] yang mengakomodasi berbagai kepentingan yang beragam. Akhirnya adalah dimensi policy atau kebijakan sebagai dimensi politik, yang melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Bagaimana pun, titik berat dari pandangan Easton, meski berbeda dengan cara pandang Almond di dalam menganalisa sistem politik, tetap lah menyangkut kepada efektifitas suatu sistem politik di dalam menjalankan fungsi-fungsinya menjawab tantangan dalam negeri dan luar negeri. Karena itu, dengan pendekatan “Input – Proses – Out Put – Easton akhirnya bisa membedakan antara sistem politik yang bekerja secara efektif dengan sistem politik yang disfungsional karena kegagalan mengakomodasi elemen-elemen Input; kegagalan memposes tuntutan-tuntutan atau aspirasi yang beragam atau bahkan bertentangan; kegagalan melahirkan suatu kebijakan atau keputusan responsif dan diterima banyak pihak; serta kegagalan menciptakan suatu dinamika politik yang mampu menjawab tantangan dalam dan luar yang terus berubah (dinamis).

Tentu saja, kedua kajian mengenai sistem politik ini tidak bisa dipisahkan dari pendekatan lain yakni budaya politik dan sejarah. Untuk kasus Indonesia, dimensi-dimenasi kesejarahan mulai dari jaman kerajaan-kerajaan, kolonialisme, masa kemerdekaan (liberal-parlementer, presidensial dan demokrasi terpimpin, serta masa otoritarian-militeristik Orde Baru) mau pun masa transisi demokrasi pasca reformasi akan ikut mempengaruhi proses pembentukan sistem politik di Indonesia. Sama halnya dengan dimensi kultural yang ikut mempengaruhi pembentukan dan implementasi sistem politik.[5]

Dengan demikian, kata kuncinya adalah kapabiltas dari sistem politik menyahuti tuntutan-tuntutan masa kini dan masa depan, tuntutan dari dalam mau pun dari luar negara, dalam rangka menghadirkan collective will, kehendak bersama yang setara untuk hidup sejahtera dan adil.  Dalam posisi seperti ini lah sistem politik harus didesain yang kemudian berakibat pada aspek normatif yang mesti dibangun, struktur dan kelembagaan apa dan dengan fungsi-fungsi apa saja yang dibutuhkan, pola interaksi politiknya, sistem kepartaian dan pemilu, model-model kebijakan, model desentralisasi dlsb.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan mendasar menyangkut ide negara, demokrasi dan keadilan sosial, baik yang dimunculkan oleh kaum liberal mau pun sosialis (serta kaum sosial-demokrat), pada dasarnya semua aliran ini membayangkan suatu sifat demokrasi dimana partisipasi politik rakyat diakomodasi. Dalam arti, universal suffrage menjadi issu bersama di mana jaminan kesetaraan hak-hak dasar politik menjadi penting. Mereka percaya kepada ide kedaulatan rakyat karena secara filosofis semua pihak mengakui konsep dasar filosofis demokrasi berarti suatu pemerintahan yang lahir dari pemikiran dan praktek politik Yunani kuno: pemerintahan untuk orang tertindas, pemerintahan untuk rakyat banyak atau pemerintahan untuk kaum miskin (government for the many, for the poor, for the disadvantaged)[6]. Jadi, demokrasi selalu diartikan sebagai sebuah sistem politik yang mengupayakan kesetaraan pada semua orang. Prinsip-prinsip ini berbeda dengan sistem otokrasi atau monarki yang memang memberikan kekuasaan atau kedudukan istimewa (privilege) kepada para tuan atau kelas-kelas tertentu. Demokrasi lahir sebagai ide dan praktek sekaligus di zaman Yunani kuno (demos-kratos) yang merupakan “counter” atas ide dan praktek politik otokrasi dan monarki dengan mengajarkan prinsip kesetaraan, bahkan perhatian khusus kepada “kaum yang lemah” (lihat Andrew Heywood, Politics, Palgrave Macmillan, New York, hal 67-71).

Tentu saja, perbedaan filosofis di dalam memandang kebebasan individu manusia, kolektifitas mau pun negara, dari aliran liberal dan sosialis (serta sosial-demokrat) akan melahirkan model demokrasi yang berbeda pula. Ide demokrasi yang pada dasarnya sama, namun diwujudkan dalam model yang berbeda, pada akhirnya juga melahirkan konsep negara yang berbeda. Namun, mana pun pilihan-pilihan aliran dan model demokrasi atau sistem politik, syarat pokok menyangkut konsistensi, soliditas – serta meminjam Easton -, efektifitas tidak dapat dihindarkan oleh aliran mana pun. Perbedaan pandangan antara John Rawls[7] dengan Edward Bernstein[8] tentang bagaimana mencapai keadilan sosial, apakah mempercayakannya kepada kompetisi terbuka (dengan sekaligus menganut prinsip fairness – oleh Rawls) atau dibutuhkannya intervensi negara pada derajat-derajat tertentu untuk aspek-aspek tertentu – oleh Bernstein, tetap saja keduanya membutuhkan konsistensi di dalam ide dan praktek negara, demokrasi dan keadilan sosial. Artinya, jika pendekatan sosial-demokrasi (dengan tujuan keadilan sosial dan kesetaraan, baik pendekatan Rawls mau pun Bernstein atau yang lainnya) yang dijadikan pilihan, maka konstitusi negara harus mengatur kelembagaan-kelembagaan politik, ekonomi, hukum dan budaya yang sejalan dengan gagasan tersebut. Demikian pula halnya dengan struktur, norma, hubungan-hubungan kelembagaan kekuasaan, rekrutmen, sosialisasi serta ukuran dari capaian-capaian sistem politik tersebut.

Gagal Bekerjanya Sistem Politik

Berangkat dari berbagai pemahaman teoritis dan konseptual di atas, maka kita kemudian dapat menilai bagaimana proses perubahan-perubahan sistem politik di Indonesia pasca reformasi. Perubahan yang paling pokok ditandai oleh perubahan konstitusi, mulai dari amandemen 1 hingga amandemen ke 4 (sedang terjadi perdebatan pula tentang kemungkinan amandemen ke-5 yang diusulkan oleh DPD). Berkaitan dengan topik bahasan kita mengenai peluang membangun suatu negara sosial-demokrasi, maka perubahan-perubahan konstitusi (amandemen UUD 1945 1 hingga 4) mencatatkan beberapa issu penting:

Pertama, pemencaran kekuasaan pengambilan keputusan/kebijakan ke dalam berbagai lembaga politik dan hukum yang sayangnya semakin tidak mencerminkan suatu desain kenegaraan yang kokoh dan kuat. Sistem pemerintahan menjadi tidak jelas apakah menganut sistem presidensial atau parlementer. Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat – dengan demikian mencerminkan sistem presidensial – kehilangan beberapa hak preogratif. Bahkan dalam beberapa hal, kekuasaan legislatif tumpang tindih dengan eksekutif atau bahkan mengalahkannya.

Kedua, pemegang tafsir dan pengendali konstitusi menjadi tumpang tindih di antara kekuasaan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan MPR. Kondisi ini semakin mencerminkan ketidakteraturan lembaga-lembaga politik dan fungsi-fungsinya. Kondisi ini semakin menunjukkan sosok negara yang semakin terbelah dan disfungsional.

Ketiga, proses delegasi kekuasaan yang kemudian melahirkan otonomi kekuasaan di dalam praktek KPU, MK, KY atau yang lainnya. Sepintas, sifat delegatif yang berubah menjadi kekuasaan otonom mencerminkan kondisi prasyarat check and balances yang demoratis. Namun, dalam banyak hal justru melahirkan dua akibat. Kesatu, fragmentasi kekuasaan ke dalam elemen-elemen otonom yang lebih kecil dan tidak solid, karena sumber kekuasaan terpecah ke dalam berbagai aktor dan institusi yang berbeda. Kedua, hasil-hasil kebijakan dan keputusan yang saling mengalahkan dan karenanya sulit diharapkan memenuhi kapabilitas simbolik mau pun responsif.

Keempat, ketidakkonsistenan di dalam memasukkan ide-ide baru (terutama ide HAM) ke dalam konstitusi hasil amandemen, baik konseptual mau pun implementasinya. Pasal 33 yang berideologi sosial-demokrasi “dipangkas” perangkat undang-undang dan kebijakan implementatif di bawahnya yang cenderung menganut faham liberal atau neo-liberal. Pengakuan atas prinsip universal hak asasi manusia kemudian dipangkas lagi di dalam perundang-undangan di bawahnya yang menolak asas retroaktif; posisi Komnas HAM yang terbatas; serta pembenaran terhadap  hukuman mati. Lebih lanjut, praktek kenegaraan dan pemerintahan, meski kemudian meratifikasi instrumen-instrumen hukum hak asasi lainnya (cosmopolitan laws), tidak sepenuhnya melakukan harmonisasi ke dalam hukum nasional (domestic laws) atau perangkat kebijakan program. Karenanya, negara sulit memenuhi fungsi perlindungan hak sebagaimana standar-standar HAM, menjalankan pembangunan berlandaskan tujuan kekemerdekaan (sebagaimana ide Amartya Sen) dan sebaliknya gagal melindungi warga dari kekerasan dan kehancuran (merujuk kepada salah satu ciri negara gagal sebagaimana dikatakan Chomsky).

Kelima, posisi lembaga-lembaga yang bersifat ad-hoc menjadi lebih penting ketimbang lembaga permanen. Misalnya, KPK yang ad-hoc – meski hasil kerjanya membanggakan banyak kalangan – secara perlahan mengambil alih fungsi-fungsi lembaga penegakan hukum yang permanen, yakni kejaksaan dan kepolisian.

Keenam, desentralisasi tidak melahirkan distribusi kekuasaan politik ekonomi sebagai bagian dari ide pluralisme dan politik rekognisi. Sebab yang kemudian terjadi adalah pemindahan sedikit kekuasaan (termasuk pemindahan sebagian area konflik kekuasaan politik dan ekonomi) dari pusat kepada elit-elit daerah. Sementara, kesejahteraan masyarakat di daerah tidak meningkat. Distribusi bujet nasional ke dalam bujet daerah pemekaran tidak otomatis berkonsekuensi terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah pemekaran, namun sangat mungkin dikuasai oleh segelintir elit daerah atau elit nasional yang berpindah ke daerah.

Lebih jauh, politik nasional semakin tidak terintegrasikan karena pemekaran dibiarkan berjalan seiring dengan kebangkitan etnisitas semu. Dalam arti, format kenegaraan bukan menuju ke arah “poly-ethnics state” sebagaimana dimaksud Anthony Smith – yakni perwujudan dari politik rekognisi atas elemen-elemen kultural/etnisitas untuk memperkuat faham kebangsaan (nasionalime) -, tetapi lebih menjurus kepada pembentukan etno-nasionalisme yang dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan elit di daerah yang berambisi menguasai sumber-sumber kekuasaan politik, ekonomi dan sumber daya alam di daerah.[9]

Ketujuh, sistem multi partai tidak berhasil menumbuhkan satu kekuatan partai politik yang mampu melakukan agregasi dan artikulasi politik kerakyatan, malah sebaliknya terjebak ke dalam upaya merebut posisi kekuasaan semata (berorientasi office seeker tanpa etos dan gagasan politik). Praktek “broker” dan “premanisme” justru lebih menonjol ketimbang pengembangan keorganisasian yang modern serta pendidikan politik yang meluas, baik di kalangan kader mau pun masyarakat konstituen. Pendek kata, hingga saat ini, sistem multi partai yang diterapkan tidak menjanjikan apa-apa, malah sebaliknya semakin memperkuat distrust masyarakat kepada sistem politik serta memperkuat praktek budaya korupsi, perkoncoan dan broker.

Satu masalah serius lainnya adalah budaya elitisme di dalam partai yang akhirnya menafikan prinsip kesetaraan dan kemungkinan mobilitas vertikal di dalam politik. Dengan demikian, prasyarat budaya demokrasi juga tidak terbangun di masyarakat, sebab proses politik hanya berjalan secara tertutup di kalangan elit partai. Pelembagaan mekanisme partisipasi di dalam sistem politik, sebagaimana disyaratkan oleh Easton, menjadi terbatas di tangan segelintir elit yang kemudian memanipulasi aspirasi rakyat ke dalam agenda politik yang mereka rumuskan sendiri (dengan begitu sekaligus gagal mengembangkan kapabilitas simbolik sebagaimana dikatakan Almond). Banalitas politik semacam ini lah yang mewarnai proses demokratisasi sepuluh tahun terakhir, dalam arti aspirasi dan hak-hak politik rakyat sesungguhnya dirampok oleh mereka-mereka yang menguasai sistem politik.[10]

Kedelapan, melemahnya kekuatan masyarakat sipil mau pun organisasi kepentingan serta semakin memudarnya unsur-unsur atau faktor-faktor pemersatu. Dengan demikian, kekuatan masyarakat sipil – sama halnya dengan partai politik – semakin kehilangan makna pentingnya di dalam upaya penguatan sistem politik ini.

Pelemahan ini juga ditandai proses atomisasi atau partikularisasi lembaga-lembaga politik formal dan non-formal (masyarakat sipil). Kecenderungan ini tidak mengarahkan proses politik – lewat ranah politik formal dan non-formal – ke dalam suatu proses pengintegrasian lembaga-lembaga (institutionalation of politics) mau pun ide-ide politik (the substances of politics). Yang terjadi malah sebaliknya, lembaga-lembaga politik terbelah ke dalam organisasi partikel-partikel yang lebih kecil, sementara gagasan-gagasan menjadi sangat kasuistik dan berbasis kelompok kecil. Hubungan antara organisasi-organisasi partikel atau atomik mau pun dialektika ide-ide politik menjadi simbolik, bukan merupakan hubungan-hubungan yang sistemik dan terintegrasi ke dalam kerangka sistem politik mau pun kepentingan politik nasional.

Ada banyak lagi kecenderungan yang muncul setelah projek liberalisasi politik dilakukan pasca reformasi 98. Namun secara umum – dengan meminjam pemikiran Almond dan Easton – dari projek liberalisasi ini tidak didapatkan suatu keyakinan bahwa sistem politik kita akan bekerja secara efektif, solid untuk mencapai standar-standar suatu masyarakat-negara yang demokratis dan berkeadilan sosial. Bahkan, dengan kinerja (performance) semacam ini, sistem politik Indonesia bukan saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah multi dimensional, tetapi justru akan semakin memperparah masalah. Sistem ini juga tidak berhasil menciptakan kondisi sosial-ekonomi imperatif untuk diterapkannya negara berasaskan demokrasi dan keadilan sosial. Suatu kenyataan yang menyedihkan karena para pendiri bangsa justru meletakkan prinsip-prinsip dasar pemikiran sosial-demokrasi sejak awal berdirinya negara ini.

Penutup

Dalam satu tulisannya Habermas menekankan perlunya menarik garis sambung historis-substantif antara masa lalu, sekarang dan masa depan untuk menghindari semaksimal mungkin paradoks konstitusi dan demokrasi dalam rangka mencapai suatu negara atau bangsa yang berlandaskan kepada keadilan politik dan ekonomi. Namun, sayangnya di negara-negara bekas jajahan, keinginan ini sulit dicapai. Mereka justru terjebak di dalam garis terputus antara periode kolonialisme, masa kekuasaan rejim diktator dan transisi demokrasi.

Bagi Habermas, konstitusi demokratis tidak hanya dicerminkan atas isi tetapi juga melalui sebuah tradisi membangun projek yang secara jelas sejak awal. Jadi, proses legislasi yang sedang berjalan atau pemahaman dinamis konstitusi harus menafsirkan dan mengadaptasikan hak-hak dari keadaan-keadaan saat ini, tetapi tetap menarik garis sambung dengan perspektif para pendahulu. Dengan begitu, konstitusi demokratis membutuhkan karakter yang berorientasi masa depan atau keterbukaan di dalam jalan panjang sebagai ‘satu proses belajar mengoreksi diri’. Perjanjian Baru (The New Deal) di masa Roosevelt dapat menjadi satu contoh yang baik mengenai bagaimana penafsiran dinamis dan perubahan-perubahan dilakukan.

Jadi, di dalam proses belajar ini kita membutuhkan perspektif yang sama sebagaimana juga membutuhkan sebuah pemahaman yang rasional untuk menilai teks konstitusi atau di dalam rangka belajar dari kesalahan masa lalu. Untuk itu, Habermas sekaligus menawarkan gagasan tentang pembentukan wacana rasional di dalam menilai masa lalu (untuk memahami perspektif pendahulu) serta mengoreksinya secara kritis untuk mendapatkan pandangan konstruktif masa depan yang bisa menjawab tantangan ke depan.[11]

Prasyarat tentang pentingnya garis sambung antar periode serta prasyarat komunikasi emansipatoris (untuk menciptakan wacana rasional) sebagaimana dimaksudkan Habermas ternyata cukup sulit didapatkan di negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia. Selalu saja hasilnya adalah perubahan-perubahan sistem yang terus-menerus namun tidak menghasilkan satu bentuk sistem yang solid dan kredibel serta tidak merepresentasikan perspektif masa lalu yang sudah dibangun para pendahulu mau pun perspektif konstruktif menjawab tantangan asa kini dan masa depan.

Pergantian dari satu zaman kepada zaman yang lebih baru (rejim politik lama kepada rejim politik yang lebih baru) selalu tidak melahirkan perubahan mendasar di dalam struktur dan budaya politik. Perubahan “baju politik”, tidak merubah “tubuh politik”, apalagi “jiwa politik”. Bahkan perubahan baju politik semakin memperparah penyakit yang terdapat di dalam “tubuh dan jiwa politik”. Tiap-tiap periode sejarah kita malah semakin mendekatkan kita ke tepi jurang yang dalam.

Saya cenderung mengatakan, kondisi negatif ini lah justru yang menjadi tantangan dan peluang sosial-demokrasi. Maknanya adalah adanya peluang untuk menjelaskan kepada publik mengenai suatu sistem alternatif di tengah-tengah kebuntuan sistem politik yang dipakai saat ini. Tidak mudah memang, mengingat jejak historis ide-ide sosial-demokrasi yang pernah didesain oleh para pendiri bangsa ini, justru semakin tergerus oleh ide-ide liberalisme, pragmatisme semisal ide politik pasar yang meski pun sangat tidak subtantif, namun lebih digemari.

Karena itu, prasyarat platform ideologis yang praktikal, organisasi modern yang terstruktur baik dibarengi kepemimpinan yang terpercaya serta kerangka kerja yang terukur adalah prasyarat-prasyarat mutlak bila ide-ide sosial-demokrasi ingin tampil sebagai alternatif.

Kembali salah satu prasyarat Habermas mengenai masyarakat emansipatoris, maka tantangan sosial-demokrasi juga semestinya diletakkan tidak hanya di dalam gerakan politik, tetapi juga di dalam gerakan sosial. Sebab, kondisi emansipatoris selalu saja mengandaikan demokratisasi di ranah politik dan sekaligus demokratisasi di ranah masyakat sipil.

Paling akhir, yang tidak kalah pentingnya adalah upaya memperebutkan ranah pengetahuan/intelektual yang meski pun dewasa ini meminggirkan ide-ide sosial-demokrasi, namun secara historis memiliki akar yang kuat di Indonesia. Di luar itu, peluang semakin terbuka dengan berbagai kegagalan kapitalisme global melakukan distribusi kesejahteraan, bahkan menjaga keamanan, stabilitas politik-keamanan.

Medan, 25 September 2008


[1] Noam Chomsky menyebut tiga ciri negara gagal, yakni pertama ketidakmampuan atau ketidakmauan negara melindungi warganya dari kekerasan dan kehancuran. Kedua, kecenderungan untuk menempatkan negara melebihi hukum domestik dan internasional serta ketiga, bentuk-bentuk demokratis yang dimiliki mengalami defisit.

[2] Untuk memperluas pemahaman mengenai standar-standar ini dalam kaitannya dengan “pembangunan”, pembaca disarankan membaca buku “Development as Freedom”, Amartya Sen, Anchor Books, New York, 1999.

[3] Bahkan, secara historis perjuangan pendirian negara Indonesia sangat besar dipengaruhi oleh kalangan “kiri”, misalnya lewat pemikiran-pemikiran ekonomi-politik Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Sukarno dengan Marhaenismenya dan lain-lain.

[4] Bila dikonversikan ke dalam pemikiran JJ Rosseau, John Locke dan Thomas Hobbes mengenai kontrak sosial, maka individual liberty (kebebasan individu) menjadi dasar bagi penciptaan consensus (dalam bahasa ketiga filsuf ini disebut sebagai kontrak sosial). Selanjutnya, John Rawls mensyaratkan prinsip “fairness” (setelah didapatkannya kemerdekaan individu) bagi terbentuknya konsensus atau kontrak sosial yang “adil”. Sebaliknya, kaum Marxist mempercayakan kepada penetrasi negara untuk menentukan konsensus atau kontrak sosial yang adil. Namun, keduanya tetap meletakkan konsensus atau kontrak sosial sebagai basis tujuan suatu sistem politik. Dalam bahasa lain, biasa pula disebut sebagai cerminan collective will atau public will (kehendak umum atau kepentingan bersama).

[5] Lihat pendekatan Indonesianis semacam Herbert Feith di dalam menganalisa bekerjanya sistem politik di Indonesia melalui pendekatan sejarah atau Gertz yang cenderung mengamati aspek budaya politik di Indonesia yang memengaruhi konsep dan cara bekerjanya suatu sistem politik.

[6] Di dalam Gettysburg Adreess-nya Abraham Lincoln (1864) mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

[7] Lihat John Rawls di dalam buku Theory of Social Justice, Oxford University Press, New York, 1999

[8] Di dalam Kongres SPD di Bad Godersburg tahun 1959, Bernstein menolak Marxisme dan menawarkan prinsip competition where possible, planning where necessary.

[9] Lihat studi kasus dinamika konflik politik di daerah-daerah pemekaran seperti Poso dan lain-lain sebagai hasil studi KITLV yang diterbitkan dalam buku Politik Lokal di Indonesia, (Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Belanda, 2008). Lihat juga Anthony D Smith, The Ethnic Revival (Cambridge: Cambridge University Press, 1981)

[10] Kecenderungan ini diperkuat oleh kapitalisasi dunia media massa yang dikuasai oleh kelompok modal dan elit penguasa yang mendominasi diskursus politik di dalam media. Karenanya diskursus politik melalui media massa pun semakin jauh dari ide pembentukan konsensus atau kontrak sosial yang “fair” sebagaimana dikatakan Rawls, bahkan tidak memenuhi syarat-syarat kesetaraan dan kebebasan individu sebagaimana dikatakan Rousseau. Juga jauh dari gagasan Habermas mengenai komunikasi emansipatoris sebagai prasyarat penciptaan wacana yang demokratis.

[11] Jurgen Habermas, Constitutional Democracy, A Paradoxical Union of Contradictory Principles ?, Political Theory, Vol. 29, 2001 serta lihat Habermas, The Inclusion of the Other, Massachusetts: MIT Press, 1998

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment